Ketika
kebanyakan orang memanfaatkan malam hari sebagai wasilah untuk menenangkan
fikiran dan mengistirahatkan badan yang lelah akibat aktifitas harian yang
begitu menguras tenaga. Hal itu tidak berlaku dengan para kaum santri, mereka
memanfaatkan sunyi serta gelapnya malam sebagai sarana untuk mengembangkan
keilmuan yang didapat selama siang hari. Di tengah gelapnya malam yang hanya di
terangi dengan temaran sang rembulan serta menusuknya hawa dingin malam hari,
tidak menyurutkan semangat serta tekad mereka meraih masa depan yang di
impikan, dan secangkir kopi adalah teman setia diskusi-diskusi mereka. Bagi
kaum sarungan Ngopi adalah ibarat membaca perjalanan. Mengeja
Alif....Ba....Ta...kehidupan, dalam lautan Iqra’-Nya, memberi Mubtada’ dan
mencari Khobar-nya, memaknai Fi’il dan mentarkib Fa’il-Maf’ulnya. Sampai
ketemu dengan jelas kalam firman-Nya. Irodah dalam ayat kauniyah-Nya. Seruputan
yang dalam, menandai makna itu telah terengguk, seruputan yang kedua dan
seterusnya, sampai makna-makna itu menjadi lukisan, dan di akhir tegukan
lukisan itu telah memiliki warna. Dan tidak dapat di pungkiri juga banyak
diantara mereka yang terkapar akibat terpaan dahsyat muhafadzah serta pelajaran
dikelasnya masing-masing.
Godaan
modernisasi serta kemajuan
teknologi yang saat ini sudah merambah segala dimensi dunia tidak mampu
mempengaruhi pikiran para santri. Hal inilah yang membedakan antara pendidikan
di pesantren dengan pendidikan di luar pesantren. Pesantren dengan segala
aktifitasnya yang sederhana bukannya tidak mau menerima kenyataan bahwa
teknologi saat ini sangatlah dibutuhkan. Namun, Pesantren lebih memandang
kepada dampak yang di hasilkan jika seluruh santri dibebaskan untuk menggunakan
teknologi yang sedang berkembang saat ini.
Banyak
ibrah yang bisa diambil dari kebijakan yang di terapkan di seluruh pesntren
baik Pesantren yang sudah maju maupun Pesantren yang sedang berkembang,
khususnya di Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Pesantren dengan kesederhanaannya
mengajarkan kepada seluruh santrinya tentang pentingnya hidup mandiri, dengan
tidak memperbolehkan para santri mengoperasikan alat-alat elektronik seperti handpone
dan laptop, sebenarnya pesantren mengajarkan kepada para santrinya agar dapat
membiasakan diri memanfaatkan waktu senggangnya untuk saling berkomunikasi
bersama teman-temannya.
Dan
inilah masa-masa yang begitu indah bagi kaum sarungan, yang akan selalu
terkenang sampai menjadi alumni, yaitu ketika para santri berkumpul (Cangkroan) baik di kamar, di emperan,
di halaman, di taman bahkan di kamar mandi pun tidak luput dari tempat mereka
cangkroan, berbagai dinamika obrolan dibahas, mulai dari menceritakan serta
membangga-banggakan wisata wilayah asalnya, kegaduhan hati karena hilangnya
sandal di masjid maupun di sekolah padahal baru beli satu jam yang lalu, jika
ibu-ibu gelisah akibat sembako yang lagi naik, maka santri kegelisah akibat
naiknya harga nasi dari Rp. 3.500,- menjadi Rp. 4.000,- hingga pembahasan sabun
yang hilang akibat antrian yang begitu panjang bahkan obrolan tentang pemilu
Presiden pun tidak luput dari pembahasan mereka.
Bahkan
tidak menutup kemungkinan santri pun ikut dalam pembahasan tentang negara ini.
Mengingat sejarah berdirinya bangsa ini tidak bisa lepas dari perjuangan serta
peran kaum sarungan. Bahkan Santri akan menjadi garda terdepan jika seandainya
NKRI terancam sebagaimana yang di sya’irkan oleh KH. Wahab Hasbullah dalam Hubbul Wathan nya. Hal ini dibuktikan
dengan dilaksanakannya muktamar NU
ke-27 di Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
Situbondo pada tahun 1984 yang
menghasilkan keputusan bahwa NU
kembali kepada khittah-nya dan warga Nahdliyin menerima asas tunggal
pancasila yang kemudian keputusan tersebut diikuti oleh ormas-ormas lain seperti
Muhammadiyah.
Ketika
banyak kaum modernis yang menganggap bahwa kaum sarungan adalah kaum yang tidak
memiliki kepekaan terhadap dunia luar, baik isu politik, sosial, maupun budaya.
Pesantren dengan santri tradisionalis-nya yang dikomandoi oleh para kiai mampu
membuktikan loyalitas serta kredibilitas mereka kepada tanah air ini.
Bahkan
pesantren yang pada awalnya hanya menjadi tempat pendidikan agama yang konservatif, pada akhirnya membuka
diri dan terlibat dalam dinamika pendidikan modern. Dalam konteks ini, tokoh
yang berperan dalam pembaharuan kurikulum
pesantren adalah KH. Muhammad
Ilyas dan KH. Abdul Wahid Hasyim
atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari.
Kedua tokoh muda tersebut memasukan mata pelajaran umum seperti membaca dan
menulis latin, ilmu bumi, sejarah, dan bahasa melayu. Pembaharuan ini sempat
menimbulkan reaksi yang cukup hebat, wajar jika pada saat itu terjadi
pro-kontra perihal pesantren yang memulai pembaharuan.
Namun
buahnya bisa dilihat saat ini, yakni perpustakaan-perpustakaan pesantren mampu
menjadi laboratorium keilmuan yang representatif dan terbuka dengan dialektika perkembangan zaman. Dari
pembaharuan kurikulum inilah kemudian pesantren bukan hanya mampu mencetak
kader-kader yang memiliki keilmuan agama yang tinggi, ber-akhlak karimah,
berkarakter, kharismatik, namun sekaligus memiliki wawasan kebangsaan dan
wacana modernitas.
Hanya saja, peran kaum bersarung sengaja disingkirkan dari lembar catatan sejarah. Padahal, pesantren dengan para kiainya, jauh sebelum terorganisir dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), sudah terbukti berperan dalam setiap gerakan sosial untuk mewujudkan cita-cita keadilan dan kemerdekaan orang-orang pribumi.
suasana belajar santri |
Ada adagium yang populer, sejarah selalu diciptakan oleh penguasa. Artinya, siapa yang menang, yang berkuasa, dialah yang berhak membuat cerita dan menulis sejarah. Wajar jika peran kaum tradisionalis-pesantren sulit dilacak, sewajar sejarah yang tidak pernah berkata jujur tentang peran laskar santri yang terhimpun dalam Hizbullah, maupun laskar kiai yang tergabung dalam Sabilillah, dalam berperang melawan penjajah.
Sejarah
milik penguasa tidak mengabarkan keterlibatan serta loyalitas KH. Abdul Wahid Hasyim dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
atau dalam bahasa jepangnya adalah Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai. Sejarah yang diajarkan pada anak-anak sekolah, juga
tidak mengenalkan peran “Resolusi
Jihad” yang dikomandoi oleh Hadratus
Syekh KH. Hasyim Asy’ari, yang mengeluarkan fatwa “Wajib” bagi setiap
muslim untuk mempertahankan kemerdekaan.
Ada
dua dampak Resolusi Jihad terhadap
kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, dampak politik. Lahirnya
Resolusi Jihad, secara politik meneguhkan kedaulatan Indonesia sebagai negara
bangsa (nation state) yang merdeka dari segala bentuk penjajahan. Meski
setelah proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, Indonesia selalu berdarah-darah untuk menghadapi masuknya
tentara Sekutu, agresi militer Belanda pertama dan kedua. Kedua, dampak
militer. Resolusi Jihad, dengan tampilnya laskar Hizbullah dan Sabilillah,
berkontribusi besar melahirkan tentara nasional. Tanpa laskar-laskar tersebut,
yang terkomando dalam Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan,
rekruitmen tentara nasional akan mengalami kesulitan.
Peran
kiai dan santri dalam perang kemerdekaan tidak hanya dalam laskar
Hizbullah-Sabilillah, tapi banyak di antara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela TanahAir).
Sebagaimana telah diketahui, sebagian besar tentara kita (TNI) berasal dari
PETA. Menurut penelitian Agus Sunyoto, dari 60 bataliyon tentara PETA, hampir
separo komandannya adalah para kiai. Dengan demikian, dalam ketentaraan
Indonesia ada kehadiran “Kaum Santri” yang perannya sangat berarti. Hal ini,
tentu saja pantas ditulis dengan tinta emas sejarah.
Dalam
catatan sejarah, terdapat beberapa kiai yang menjadi pahlawan nasional,
diantaranya : KH. Zainul Arifin
dengan SK presiden No 35 Th 1963, KH. Abdul Wahid Hasyim dengan SK Presiden
No260 Th 1964, KH. M. Hasyim
Asy’ari dengan SK presiden No 294 Th 1964, KH.Zainal Musthafa dengan SK presiden No
64 Th 1972, dan yang terbaru KHR.
As’adSyamsul Arifin dengan SK presiden No 90 Th 2016. Selain itu, jumlah
terbesar dari pemberontakan melawan penjajah, juga dimulai dan dilakukan oleh
para kiai.
Namun,
apapun yang telah diberikan negara terhadap warga NU atas jasa-jasa para
pahlawannya, belumlah sebanding. Sebagaimana pernyataan Bruinessen, bahwa
Resolusi Jihad berdampak besar untuk mengobarkan semangat 10 November 1945, namun sayangnya,
menurut Bruinessen, Resolusi Jihad ini tidak mendapat perhatian yang layak dari
para sejarawan.
Artinya
bahwa kontribusi NU yang begitu besar dalam mempertahankan kedaulatan NKRI
ternyata dipandang sebelah mata oleh pemerintah dari zaman kemerdekaan bahkan
mungkin sampai saat ini. Catatan penting, bahwa sebagian besar penduduk
Indonesia yang beragama islam, kurang lebih Empat Puluh jutanya, berafiliasi
kepada Jam’iyyah NU.
Artinya kontribusi NU bagi negara sebenarnya sangat besar, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Maka, sudah seharusnya kebijakan politik
berpihak kepada NU, yang menjadi mayoritas dalam rakyat Indonesia. Sayangnya,
fakta mengatakan hampir sebagian besar warga NU yang tradisional-agraris,
menjadi kuli di negeri sendiri. Akses pendidikan generasi NU begitu terbatas,
kehidupan ekonomi lemah, peran politiknya selalu termarjinalkan dan sengaja
dipinggirkan dari sejarah, serta kearifan budayanya (cultural wisdom)
sengaja digerus agar semakin hilang.
Bahkan
orang-orang NU yang sudah menjaga tradisi lokal sejak berabad-abad yang lalu,
harus menerima tuduhan ahli bid’ah,
ahli takhayul, ahli khurafat dsb. Masjid-masjid dari
wakaf nenek moyang orang NU juga sekarang mulai direbut oleh kelompok-kelompok
Islam yang mengatasnamakan gerakan dakwah pemurnian akidah. Karena tuduhan
mereka selama ini, ajaran islam yang didakwahkan orang NU tidak murni,
bercampur bid’ah dan syirik.
Dalam
konteks ini, bukan berarti NU harus menagih bayaran atas kontribusinya terhadap
bangsa. Namun sudah selayaknya, bangsa ini sendirilah yang patut menempatkan
pahlawannya di tempat mulia. Oleh karena islamnya orang NU adalah Islam yang
Indonesia, maka bagi NU menjadi Islam seratus persen berarti menjadi nasionalis
seratus persen. Rumusan tersebut senada dengan ungkapan KH. Wahab Hasbullah
ketika menjawab pertanyaan Soekarno. Ketiaka itu Soekarno bertanya, “Pak kiai,
apakah nasionalisme itu ajaran Islam?” Lantas Kiai Wahab menjawab,
“Nasionalisme ditambah Bismillah itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan
dengan benar pasti umat Islam akan nasionalisme”.
Seandainya
saja Resolusi Jihad tidak ada, juga laskar Hizbullah dan Sabilillah bersama
laskar-laskar rakyat lain tidak lahir untuk menentang sekutu, mungkinkah
Indonesia yang merdeka bisa kita nikmati sampai hari ini? Hal inilah yang
seharusnya menjadi perhatian para pengambil kebijakan, juga para sejarawan
untuk memosisikan peran NU secara proporsional. Saatnya sejarah harus
menampilkan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi, bukan menutupi,
mengurangi atau menambahi, memanipulasi atau mengkomoditinya.
Munculnya
hari pahlawan, kota pahlawan, dan peristiwa 10 November serta para
pahlawan yang gugur adalah sebagian dari ruh Resolusi Jihad yang ditiupkan oleh
para kiai dan santri. Berapa pengorbanan jiwa dan raga yang harus dibayar oleh
mereka untuk membayar kecintaannya pada bangsa, tetapi apa balasan pemerintah
bagi mereka (warga NU)? Di medan politik, NU tersingkir. Dalam hal kebijakan
pendidikan, warga NU selalu dinomorduakan. Di lapangan kerja, warga NU banyak
yang tidak terakomodir karena ijazah pesantren ditolak di dunia kerja. Bahkan
ada pihak-pihak yang berambisi untuk menenggelamkan NU dari tanah air, dengan
memutus ahli waris NU dari tradisi-tradisi nenek moyangnya.
Bangsa
Indonesia semuanya harus bertanya, seandainya tidak ada Resolusi Jihad NU yang
mengobarkan jihad melawan sekutu, mungkinkah hari ini, kita dan anak cucu kita
bisa menghirup udara Indonesia dengan merdeka? Tetapi mengapa catatan sejarah
tidak menganggapnya sebagai pengorbanan. Saatnya sekarang, semuanya menuju
ruang rekonsiliasi. Ruang untuk menempatkan orang-orang yang benar-benar
berjasa dan setia kepada bangsanya sebagai pahlawan. Bangsa ini harus memiliki
kearifan untuk saling menghargai, jasa apapun dan oleh siapapun. Apalagi jasa
itu bukan sekedar menyelamatkan nyawa satu atau dua orang, tetapi menyelamatkan
kedaulatan dan masa depan bangsa yang terdiri dari berbagai etnis, agama dan
golongan.
Oleh
karena itu, sudah saatnya sejarah harus berbicara jujur, untuk mengajarkan
kepada generasi bangsa bahwa Resolusi Jihad NU adalah pengorbanan yang besar dari
para kiai dan santri yang setia, dan mencintai tanah airnya. Orang-orang
pesantren selalu meyakini hadist Rasulullah SAW. bahwa mencintai tanah air
adalah sebagian dari iman. Dengan demikian, semua generasi bangsa bisa duduk
bersama untuk saling menghargai peran masing-masing.
*Refleksi Menyambut Hari Santri
Nasional 2018
============================
Yusuf An Nasir,
Sui. Malaya, 15 Oktober 2018
https://www.sangsantri.com/
0 Komentar