Diujung sebidang tanah bersanggul padi-padi. Dalam gubuk reot penahan sinar matahari kami berteduh. Diatas sehelai sarung yang dijadikan alas duduk terpampang dua buah gelas yang terbuat dari bambu dan sebuah teko aluminium. Dari aroma yang tercium saat isi ceret dituangkan ke dalam gelas, jelas sekali jika itu adalah kopi tumbuk.
Kami berbalik, menjuntaikan kaki ke bawah dari tepian gubuk tengah sawah. Memandangi hijaunya dedaunan dan tingginya pohon-pohon, karena hutan kami masih terjaga sebelum mafia-mafia itu datang dan memusnahkan semuanya. Semilir angin dengan aroma khas dedaunan semakin membuat kami terbuai dan ku pandangi ia yang tengah melihat elang bermanuver diangkasa biru.
Kita bisa terbang sewaktu-waktu seperti elang yang membelah angkasa
Hati tak lagi menapak bumi
Ketika perasaan aman, tercukupi, dan terpenuhi telah bersemayam
Kita lupa bahwa itu adalah berkah
Istimewa |
Bukan mencari-cari sesuatu yang bahkan kita sendiri sulit melukiskan bentuknya
Dunia sudah berubah
Kita tidak punya pilihan lain
Selain menjadi petarung dinegeri sendiri
Ia memandangku dengan senyum getir "Jika kita pernah buruk pada suatu masa, bukan berarti kita akan mengotori sepanjang hidup kita dengan keburukan itu" Ia tampak lebih dewasa sekarang. "Semua orang pernah bodoh. Kau pun baru sekarang menyadari kebodohamu waktu itu!" Aku tertawa kering. Kami bersulang "untuk perhabatan kita yang bodoh!" tawa kamipun berkumandang ditengah alunan syahdu lirik syair Bang Pujiono.
Memang manis manis gula-gula
Begitu juga negeri kita tercinta
Banyak suku-suku dan budaya
Ada jawa, sumatera sampai papua
Semuanya ada di sini
Hidup rukun damai berseri-seri
Ragam umat-umat agamanya
Ada islam, ada kristen, hindu, Buddha
Semuanya ada di sini
Bersatu di bhineka tunggal ika
Indonesia negara kita tercinta
Kita semua wajib menjaganya
Jangan sampai kita terpecah belah
Oleh pihak lainnya
Pancasila dasar negara kita
Dengan uud tahun 45-nya
Jangan sampai kita diadu domba
----------------
Yusuf An Nasir, 20 Agustus 2020
0 Komentar