Di kampung saya yang berada di pelosok surga (katanya). Jalan-jalan sudah mulai dibuat oleh alat-alat berat sehingga memudahkan masyarakat untuk melakukan transaksi dengan masyarakat di daerah lain. Dan tentu saja dengan adanya jalan-jalan tersebut membuat angin luar sulit terbendung karena hutan sebagai bentengnya sudah di usir pergi entah kemana.
Dengan struktur tanah gambut dan putih
berpasir membuat sebagian jalan tersebut tertutupi oleh pasir-pasir yang halus (yahhh
walau tak sehalus perasaan mu). Kala siang tiba diantara jutaan pasir yang
menutupi badan jalan tersebut terdapat kilatan-kilatan berwarna keemasan.
Kilatan tersebut selain berada di antara
jutaan pasir jalanan juga terdapat ditepian sungai kapuas, khususnya kala air
sudah menyurut dan menyisakan beting-beting tak bertuan pada tepiannya.
Dengar-dengar (bukan bergosip ya)
kilatan tersebut adalah emas, namun sangat sulit mengumpulkan karena bentuknya
yang sangat kecil. Begitulah orang-orang dulu mendongeng kan. Saya yang waktu
itu masih imut-imutnya hanya bisa diam dan berfikir "kalau itu beneran
emas, kenapa orang-orang tidak berusaha mengumpulkan? Kalau memang, mau sekecil
apapun akan tetap bisa untuk di eksploitasi? Kenapa mereka lebih memilih noreh,
bertani dan berkebun?". (Pada tahapan ini masih belum terfikirkan “kenapa
tidak dilakukan penelitian?”)
Beberapa tahun setelahnya saat duduk di
bangku Madrasah Ibtidaiyah (setara SD), yang kebetulan lagi
senang-senang nya membaca saya menemukan kalimat "negeri kita kaya"
dan hampir setiap mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan Alam selalu
mendengar kalimat "kalau di Jepang menanam pohon ubi menjadi tongkat maka
di Indonesia menanam tongkat jadi pohon ubi". Dan kalimat itu membuat saya
penasaran lalu melakukan eksperimen
Sebelum tahun 2010an kalau mau mancing,
alat utk mengikat tali pancing adalah kayu. Pada saat itu juga sedang maraknya
main perang-perangan (mensketsakan hasil membaca buku sejarah kemerdekaan
negeri ini. Terkadang main perang-perangan dengan menjadikan kebun karet
sebagai sebuah kerajaan lalu melakukan perang dengan kerajaan lain. Terkadang mensketsakan
peperangan yang terjadi antara belanda dan rakyat Indonesia pada zaman dulu
kala) dengan menggunakan pedang-pedangan (Bagi kami dulu di kampung bukan hanya
rambutan dan cempedak yang ada musimnya, permainan juga ada musimnya. Ada
musimnya kami bermain bola, peta umpet, selodor, perang-perang dsb).
Dan anda tahu? demi membuktikan
pernyataan yang saya dengar, saya rela menancapkan kayu untuk mancing dan
pedang-pedangan kesayangan ke tanah. Namun apa yang terjadi? Bukannya daun yang
muncul malah rayap yang menggerogoti (Ahhh polosnya aku).
Melihat hasil ekperimen tersebut pengen rasanya
protes pada guru bahwa pernyataan nya tersebut salah. Namun apalah daya
jangankan mengeluarkan kata, menatap wajahnya saja nggak berani.
Setelah menginjakkan kaki di ruang kelas
Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) barulah saya memahami bahwa pernyataan
tersebut hanyalah sekedar perumpamaan untuk menunjukkan betapa kaya dan
melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA) negeri dengan kode +62 ini (waktu itu belum
sempat berfikir kemana-mana, cukup mengiyakan dengan segala teori yang dicekoki
ke dalam otak kami).
Setelah memasuki dunia SMK barulah mulai
berfikir "jika negeri ini kaya, kenapa orang tuaku miskin? Tetanggaku kesusahan, banyak pengemis di jalanan, banyak yang tidur di kolong jembatan dan banyak rumah matahari?" pertanyaan tersebut hanyalah sekedar pertanyaan
yang tidak tau kapan akan menemukan jawaban.
Istimewa/galuh |
Dibabak inilah kita diajari untuk
menganalisis dan semakin banyak membaca. Tepat pukul 10.13 WIB pada tanggal 10
Oktober 2020 kami mendapat kiriman dari dosen di group WA mata kuliah Reporting Investigatif (karena kondisi pandemic yang masih mengerami negeri ini maka
kuliah beralih menjadi online), sebuah tulisan yang terdapat dalam buku Jurnalisme Investigasi yang menjadi cikal bakal adanya tulisan ngawur ini.
Didalam tulisan tersebut menceritakan bagaimana
perjuangan seorang Bondan Winarno (Penulis Buku Bre-X: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi) mengungkap kasus Bre-X, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang
pertambangan asal kanada yang sukses membuat Indonesia menjadi bahan tertawaan
masyarakat internasional karena dianggap bekerja sama dengan penipu. (Selengkapnya
silahkan baca Jurnalisme Investigasi atau bagi yang penasaran bagaimana alur
ceritanya silahkan hubungi penulis nanti tak kasi screnshotannya hehehe).
Setelah membaca tulisan tersebut
tiba-tiba terpintas dibenak saya sebuah rasa curiga. Jangan-jangan jargon
"Gemah Ripah Loh Jinawi" "Tanah Surga" “Negeri Kaya” “SDA Melimpah” dsb hanyalah sekedar jargon yang sengaja dibentuk untuk kongkalikong?
Sekedar untuk membuat senang masyarakat bawah saja? Atau memang benar adanya cuma
bukan kita yang menikmati.
Dari berbagai pertanyaan di atas tentu
saja tidak semuanya membutuhkan jawaban hanya sekedar butuh kepatian dan
pemikiran.
Ah sudahlah, kayaknya menikmati secangkir
kopi sambil membaca cerita Kancil lebih nikmat daripada membaca berbagai situasi
yang terjadi di negeri ini (tidak bermaksud apatis hanya masih mau merefreskan
otak saja dulu).
Selamat beraktivitas kembali, tetap jaga
kesehatan dan istirahat yang cukup sambil menikmati secangkir kopi rindu yang
engkau tuangkan pada cawan tak bertuan.
-----------------------------
Yusuf An-nasir, 12 Oktober 2020
0 Komentar