Advertisements

Header Ads

TANGIS NYINYIR IBU PERTIWI

Setelah kurang lebih seratus lima puluh tahun lamanya menjadi bangsa inlander, akhirnya bangsa ini mengibarkan sang saka merah putih, dan dengan tangis bernyinyiran darah, menerbitkan PROKLAMASI kemerdekaan. Baru seumur jagung kemerdekaan diproklamirkan, blok sekutu telah datang untuk mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri imperalis Belanda.

Pesawat terbang meraung-raung di atas kota Surabaya, altileri super canggih didatangkan untuk bermanufer dan mengancam pribumi. Namun, bangsa ini telah akrab dengan bau nyinyir darah, tidak lagi takut dengan kematian, tidak lagi gamang untuk maju perang, puputan sampai darah paling habis, dan resolusi jihadpun diterbitkan oleh Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, Hadratus Syech KH. Hasyim Asy’ari dan Bersambut dengan ribuan santri yang dikirim ke Surabaya, ya....10 November1945, puluhan ribu santri menjadi martir untuk mimpi mereka.

Jauh sebelum itu ribuan pejuang-pejuang mimpi kemerdekaan sudah ada, Tuanku ImamBonjol dengan perang Padri-nya, Pangeran Dipenogoro dengan perang dipenogoro yang berlangsung sekitar Lima tahun, Pattimura dengan perang Maluku-Nya, CutNyak Dien dengan perang Aceh-Nya, ditambah lagi perang gerilya lainnya yang dilakukan oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah.

NET

Kini, Mimpi itu telah menjadi nyata, kita telah bertempat tinggal di tanah kelahiran. Sebagai pemilik dan tuan, bukan budak di kampung halaman. Ini adalah hadiah terindah kakek-nenek kita. Hadiah pengorbanan jiwa, raga bahkan nyawa. Mimpi pagi yang jadi nyata. Buah kesabaran peran untuk sekuncup tawa.

Di hari ini, bahkan berkuncup-kuncup tawa yang bikin perut mulas, jadi pingkal jadi gelagak. Nyatanya kini, banyak yang ingin bernegara di dalam negara. Berdemokrasi dengan demoralisasi. Memupus halus atau hangus memori dan kelaidoskop. Museum dan monumen, hanya sekedar bangunan, bahkan sekedar makam tempat tulang belulang, untuk mengingatnya dalam do’a, berziarah menatap nisan, orang yang pernah jadi pahlawan.

Maka sadarlah wahai generasi emas bangsa, jika pertikaian dan klaim masih saja berlarut, bagaimana bisa bangsa ini jadi bangsa yang Baldathun Thayyibatun waGhabbun Ghafur, tidakkah pernah terbesit dibenak kalian, bagaimana dulu sakitnya para pejuang memerdekakan negeri ini, demi siapa? Demi kita, iya kita...generasi penerus emas bangsa ini. tapi kenapa sekarang kita mesti mau menghancurkannya?

Marilah kita duduk bersama, satu meja satu kursi kalau perlu satu cangkir kopi, kita bicarakan kedamaian negeri, tanpa harus ada yang jadi korban lagi, cukuplah ribuan batang rokok kalian yang jadi korban keganasan hisapan kalian, tak perlu ada yang lain. Mari kita kembali menjadi generasi kritis yang siap membangun bangsa bukan memecah belah bangsa.


-----------------------------
Yusuf An Nasir, 27 Mei 2019 M / 23 Ramadhan 1440 H


https://www.sangsantri.com/

Posting Komentar

0 Komentar