Pasca
jatuhnya kerajaan Turki Utsmani, pada abad ke-19, kolonial barat mulai memasuki
wilayah-wilayah islam. Isu negara bangsa dengan tingkat keragaman penduduk
mulai digulirkan oleh beberapa kalangan. Terjadinya dinamika seperti ini
menuntut para negarawan dan pemuka agama untuk merumuskan kembali sistem
ketatanegaraan yang sesuai dengan semangat perubahan. Lalu sistem syura atau
demokrasi yang pernah tersemai pada masa Al-khulafa’ Ar-rasyidin kembali
dihembuskan dalam berbagai forum dan kesempatan.
Indonesia
sebagai negara dengan tingkat keragaman penduduk yang sangat tinggi ikut
mewacanakan bentuk dan dasar negara yang akan dirumuskan. Setelah merdeka pada
tahun 1945, para pemuka dan founding father republik ini sepakat bahwa
sistem pemerintahan yang akan digunakan adalah demokrasi, dan Pancasila sebagaidasar dan idologi dalam berbangsa dan bernegara.
Ide
pemikiran politik yang terkandung dalam Pancasila merupakan racikan sempurna
yang dapat memberikan solusi bagi terwujudnya negara demokrasi. Para pendiri
negeri ini mampu meramunya dengan sangat kreatif dan amat cemerlang mampu
menyepakati pilihan yang tepat tentang dasar negara sesuai dengan karakter
bangsa.
Dalam
pandangan agama, Pancasila merupakan dasar negara, bukan syari’at. Namun sila
demi sila didalamnya tidaklah bertentangan dengan ajaran syari’at, bahkan
sejalan dengan syari’at itu sendiri. Bahkan sila demi sila pada Pancasila ada
dalilnya didalam Al-qur’an. Berikut penulis paparkan hubungan Pancasila dengan
Al-qur’an :
Sila
Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa
قل هوالله احد (الاخلاص : 01)
Sila
Kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
فلا تتبعوا الهوى ان تعدلوا (النساء :
135)
Sila
ketiga : Persatuan Indonesia
وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا
(الحجرات :14)
Sila
Keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
وامرهم شورى بينهم (الشورى :38)
Sila
kelima : Keadilan bagi seluruh rakyat indonesia
ان الله يأمر بالعدل والاحسان (النحل
:90)
Indonesia,
dengan Pancasila sebagai dasarnya, selalu dinyatakan sebagai bukan DaulahIslamiyah. Namun pada waktu yang sama, Indonesia juga disebut sebagai DarulIslam. NU memalui Muktamar yang ke-XI di Banjarmasin, pada tanggal 19
Rabi’ul Awwal 1355/9 Juni 1936, memutuskan bahwa Indonesia adalah Darul
Islam. Label sebagai bukan “Daulah Islamiyah” bukanlah persoalan,
karena yang terpenting bukanlah cap dan format, melainkan substansi dan
hakikat. Bahkan, cap tersebut lebih aman bagi kaum muslim ketimbang terjadinya
kecemburuan dan sentimen agama.
Dalam Islam, keniscayaan hadirnya negara merupakan sebuah konsekuensi logis dari
adanya aturan-aturan syari’at yang tidak mungkin terlaksana tanpa kehadiran
negara. Dengan demikian, kehadiran negara menjadi syarat dan instrumen bagi
terlaksananya aturan-aturan syari’at. Seperti dikatakan dalam kaidah fiqh :
مالايتم الواجب إلا به فهو واجب
“Sesuatu yang
menjadi syarat terwujudnya perkara wajib
adalah wajib”
Dalam
sistem ketatanegaraan, Islam tidak mengenal adanya pemisah antara agama dan
negara. Agama memerlukan negara karena tanpa negara ajaran agama tidak akan
berdiri tegak. Kesetaraan antar umat manusia serta keadilan hukum, ekonomi, dan
sosial tidak akan terwujud tanpa adanya negara. Hukuman berat bagi koruptor,
hukuman had bagi pezina dan pencuri, hukuman qishash bagi
pembunuh, dan hukuman takzir bagi penimbun harta, sebagai upaya untuk
melindungi kehormatan, harta, dan jiwa, tidak mungkin dapat terwujud tanpa
adanya instrumen negara.
Sementara
itu, eksistensi negara, baik komponen rakyat maupun pemerintahan, memerlukan
kehadiran agama. Doktrin agama bahwa manusia tidak akan sesat selama berpegang
teguh pada Al-qur’an dan sunnah juga berlaku bagi negara. Artinya, negara yang
dijalankan dengan bimbingan agama dijamin tidak akan sesat dan membawa
kemaslahatan kepada umat. Sebaliknya, tanpa agama, tujuan syari’at yang berupa
terjaganya agama, akal, jiwa, harta, keturunan dan kehormatan tidak akan
tercapai secara sempurna.
https://www.sangsantri.com/
2 Komentar
👌👍
BalasHapus😂😂
Hapus