Beberapa waktu yang lalu tepatnya
pada hari Sabtu 28 Desember 2019, Alhamdulillah masih diberi kesempatan untuk
pulang kampung, setelah sekian waktu tidak bisa pulang.
Esoknya, Minggu 28 Desember 2019,
setelah menghadiri acara dialog dengan wali santri Lembaga Pendidikan Ibrahimy dalam
rangka mengevaluasi hasil belajar santri serta pembagian Raport semester
ganjil tahun ajaran 2019/2020, menyempatkan diri mengunjungi seteher (tempat
pemberhentian kendaraan air) yang jaraknya kurang lebih 1 KM dari rumah.
Sambil
menikmati secangkir senja yang di suguhkan hembusan angin yang berlalu lalang
di temani riak gelombang sore sungai Kapuas serta cuaca dan pemandangan yang
sangat mendukung, menimbulkan hasrat untuk mengabadikannya. Beruntung sang
fotografer @assyafialmantani juga ikut serta, jadi tak repot untuk foto
sendiri.
Bumi berputar pada porosnya, jam
berputar mengikuti polanya, air mengalir mengikuti arusnya, angin berhembus
menjejaki sepoinya dan semua berubah mengikuti pola perputaran waktunya.
BERUBAH! Itulah kata yang pertama
kali singgah di benak fikiran tatkala sampai di penghujung jalan, benar-benar
berubah. Dulu jalannya sangat sempit, dijajari rerumputan di kanan kirinya dan
akar-akar pohon menjadi polisi tidurnya. Kini, jalan itu sudah besar, jangankan
sepeda motor, tronton pun bisa masuk asal bisa menyebrangi sungai.
Pohon-pohon yang dulu rindang, kini
habis tak tersisa, kalah saing dengan pelepah sawit yang semakin panjang. Kicau
Poter (burung sebangsa merpati) yang dulu merdu syahdu setiap pagi kini senyap
bagai tikus bertemu kucing.
Alam liar dan padang rerumputan
tempat kami dulu bermain kini hilang entah kemana, hanya menyisakan kenangan
dalam kerinduan. Benar-benar perubahan yang dahsyat, andaikan waktu bisa ku
putar kembali.
Bahkan saya merasa pola kehidupan
sosial masyarakatnya juga berubah, dulu hampir setiap minggu ada yang namanya
Gotong Royong, mulai dari membersihkan parit, meratakan jalan bahkan sampai
tetangga yang sedang membangun/renovasi rumahpun tak luput dari aksi bersama
tersebut.
Kini, hal itu sudah hampir hilang
bahkan bisa saya katakan sudah hangus walau belum menjadi debu hanya masih pada
tahap arang, sekarang semua sudah dihitung berdasarkan income yang akan masuk
saku.
Nafsi-nafsi semakin tampak,
sekat-sekat semakin jelas, satir-satir semakin panjang dan lebar, egosentris
atas individu dan kelompok semakin terasa, saling sikut dan ghaibah makin
merata. Benar-benar hebat zaman menguliti itu semua.
Dulu, bertemu dengan yang lebih tua
akan merasa malu, bahkan minder dan tidak mau lewat didepannya karena takut
dianggap cangkolang (tak sopan). Kini jangankan malu, nggak di tabrak masih beruntung.
Dulu ketika berjalan dan melewati
orang sungguh malu rasanya jika tidak bilang Permisi (Amit/Ghelenun, red:
madura) sambil membungkukkan badan apalagi kepada yang lebih sepuh. Kini,
jangan kan bilang permisi, mau menurunkan Gas masih beruntung.
Sungguh ironi melihat hal tersebut,
Adab sudah tak di anggap penting, tatakrama sudah di abaikan, sopan santun
diacuhkan dan ta’dzim sudah bisa di uangkan. Mungkin lebih tepat jika saya
mengatakan 'Beruanglah, jika kamu tak ingin di buang''.
Wallah A’lam bi Al-shawwab
------------------------------
Yusuf An Nasir, 01 Januari 2020
Yusuf An Nasir, 01 Januari 2020
https://www.sangsantri.com/
6 Komentar
Amazing sekali tulisannya
BalasHapusAlhamdulillah bi idznillah
HapusJazakumullah
Kalau boleh tau yusuf santri mana ya
BalasHapusSantri Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo Jatim
HapusBarakallah
BalasHapusaminnnnnnnnn
HapusJazakumullah Khairon