Advertisements

Header Ads

ISTIHSAN, ISTISHAB, MASLAHAH MURSALAH, QOUL SHAHABI DAN ‘URF (Makalah Fiqh dan Ushul Fiqh)

KATA PENGANTAR

Puja puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang karena rahmat, karunia, serta taufik dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Kedudukan Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Qaoul Shahabi dan ‘Urf ini dengan baik, meskipun dapat dipastikan banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami sampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Bapak Abdul Karim Lubis, M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Sehingga mampu menambah wawasan kami.

       Besar harapan kami makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Kedudukan Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Qaoul Shahabi dan ‘Urf. Kami menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat terdapat banyak sekali kekurangan-kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat ini, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.




Pontianak, 15 September 2019


Penyusun




Net



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan dan manfaat penulisan
D. Metode Penulisan
E. Sistematika Penulisan

BAB II : PEMBAHASAN
A. Istihsan
B. Istishab
C. Maslahah Mursalah
D. Qoul Shahabi
E. ‘Urf

BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya.

Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin.

Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha,atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Qaoul Shahabi dan Urf.

B. Rumusan Masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang Kedudukan Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Qaoul Shahabi dan ‘Urf maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu Istihsan?
2. Apa itu Istishab?
3. Apa itu Maslahah Mursalah?
4. Apa itu Qaoul Shahabi?
5. Apa itu ‘Urf?

A. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih dan Ushul Fiqh dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah. Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca dan untuk membuat kita lebih memahami tentang Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Qaoul Shahabi dan Urf.

B. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini Penulis memakai metode study literatur dan kepustakaan. Referensi makalah ini bersumber tidak hanya dari buku, tetapi juga dari media-media lain seperti e-book, web, blog, dan perangkat media massa yang diambil dari internet. 

C. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun menjadi tiga bab, yaitu bab pendahuluan, bab pembahasan, dan bab penutup. Adapun bab pendahuluan terbagi atas : latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab pembahasan dibagi berdasarkan subbab yang berkaitan dengan Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Qaoul Shahabi dan Urf. Terakhir, bab penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.



BAB II
PEMBAHASAN


Menurut bahasa istihsan berarti memandang baik sesuatu. Ia juga berarti sesuatu yang digemari dan disenangi manusia, walaupun dipandang buruk orang lain.

Sedangkan menurut istilah istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas ‘illahnya dan menggunakan qiyas yang samar ‘illahnya. Dengan kata lain, meninggalkan hukum yang bersifat umum untuk berpegangan dengan hukum pengecualian, karena ada dalil yang memperkuatnya. 

Istihsan yang disebut pertama, dikenal dengan istihsan qiyasi, sedangkan yang kedua disebut istihsan istisnaiy.

Istilah qiyasi terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas , yaitu qiyas jail atau qiyas khafi. Bila dilihat dari segi kejelasan ‘illatnya qiyas jali lebih pantas didahulukan atas qiyas khafi. Namun, menurut mazhab hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatan yang dikandungnya dibandingkan dengan qiyas jali, maka qiyas jali itu boleh ditinggalkan dan yang di pakai adalah qiyas khafi.

Sedangkan istihsan istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu :

a. Istihsan bin-nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-qur’an atau sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.

Contohnya, menurut kaidah umum makan dalam keadaan lupa pada siang hari ramadhan merusak puasa seseorang karena telah merusak rukun dasarnya yaitu imsak di siang harinya. Namun hadits Rasulullah makan dalam keadaan lupa di siang hari ramadhan tidak membatalkan puasa.

من اكل او شرب ناسيا فلا يفطر فانما هو رزق رزقه الله
Artinya: “Barang siapa yang terlupa sedangkan ia berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempunakan puasanya. Sesungguhnya Allah memberi makan  dan minum kepadanya”. ( Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan At-Tarmizi dan Abu Daud dan Ibnu Majah).

b. Istihsan berdasarkan ijma’. Misalnya, pesanan untuk membuat lemari. Menurut kaidah umum praktik seperti itu tidak dibolehkan, karena pada waktu mengadakan akad pesanan, barang yang akan diperjualbelikan tersebut belum ada.

Namun hal itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorangpun ulama yang membantah keberlakuannya dalam masyarakat sehingga dianggap sudah disepakati (ijma’).

c. Istihsan yang berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan). Misalnya, boleh mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku dan perkakas alat memasak.

Menurut ketentuan umum perwakafan, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, wakaf hanya dibolehkan kepada harta benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkan praktik wakaf tersebut.

d. Istihsan yang didasarkan atas masalah mursalah. Misalnya mengharuskan ganti rugi atas diri seorang penyewa rumah jika peralatan rumah itu ada yang rusak di tangannya kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang diluar kemampuan manusia untuk menghindarinya.

Menurut kaidah umum, seorang penyewa rumah tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak selama menghuni rumah itu kecuali jika kerusakan itu disebabkan kelalaiannya. Tetapi demi menjaga keselamatan harta tuan rumah dan menipisnya tanggung jawab kebanyakan para penyewa, maka kebanyakan ahli fiqih berfatwa untuk membebankan ganti rugi atas pihak tersebut.


Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut Ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan. Atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.

Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, juga tidak ditemukan dalil syara’ mengitlakkan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh.Yaitu suatu keadaan, pada saat Allah SWT. Menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi secara keseluruhan. Maka selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahan dari kebolehannya, keadaan segala sesuatu itu dihukumi dengan sifat asalnya.

Dan apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, makanan dan minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak ditemukan dalam suatu dalil syara’ maka hukumnya adalah boleh. Kebolehan adalah pangkal (asal), meskipun tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas kebolehannya.

Dengan demikian, pangkal sesuatu itu adalah boleh. Allah telah berfirman dalam kitab Al-Qur’an :
Al Baqoroh 29
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al Baqarah: 29)

Dan Allah SWT. Juga telah menjelaskan dalam beberapa ayat lainnya, bahwa Dia telah menaklukkan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada di bumi itu tidak akan dijadikan dan ditaklukkan, kecuali dibolehkan bagi manusia. Seandainya hal itu terlarang bagi mereka, niscaya semua diciptakan bukan untuk mereka.

Istishhab adalah dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para mujtahid untuk mengetahui hukum secara peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata “sesungguhnya istishhab adalah tempat beredar fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan traisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.

Kehalalan pernikahan bagi suami-istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja, dianggap tetap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari orang yang terkena tuntutan utang piutang atau ketetapan apa saja, dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya, asal sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula terdapat sesuatu yang mengubahnya.

Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat, antara lain sebagai berikut, “asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat sesuatu ketetapan yang mengubahnya”.

Sesuai dengan kaidah :
الأصل في الأشياء الإباحة جتى يدل الد ليل على التحريم
Artinya : “asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai adanya dalil yang menunjukkan keharamannya.”

Pendapat yang dianggap benar adalah istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishhab itu tiada lain adalah dalil pada hukumnya.


Maslahah mursalah menurut bahasa berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).

Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan diantaranya :
Imam Ar-Razi mena’rifkan bahwa maslahah mursalah ialah perbuatan yang  bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.

Imam Al-ghazali mena’rifkan bahwa maslahah mursalah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak mudarat.

Menurut Imam Muhammad Hasbih As-Siddiqi, maslahah mursalah ialah memelihara tujuan dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.

Ketiga ta’rif diatas mempunyai tujuan yang sama yaitu, maslahah mursalah memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah.

Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
a. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan.
b. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh.
c. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh Syar’i.
d. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak  benar.


a. Maslahah Dharuriah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

b. Maslahah Hajjiyah
Maslahah hajjiyah adalah semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan.

Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalah dan bidang jinayat.

c. Maslahah Tahsiniyah 
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak. Tahsiniyah ini juga masuk dalam lapangan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat.

Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai pakaian-pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan terutama oleh agama.

Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul diantaranya :

a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama-ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah, seperti Ibnu Hajib dan ahli zahir.

b. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama Malik dan sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.

c. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah, sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.

Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan. Sebagaimana Allah berfirman :
“Tidaklah semata-mata Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk kebaikan seluruh alam”. (Al-Anbiya 107)

a. Tindakan Abu Bakar terhadap orang-orang yang ingkar membayar zakat, itu adalah demi kemaslahatan.
b. Mensyaratkan adanya surat kawin, untuk syahnya gugatan dalam soal perkawinan.
c. Menulis huruf Al-Qur’an kepada huruf latin.
d. Membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya barang, karena ada gelombang besar yang menjadikan kapal oleng. Demi kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya.

Dalam Al-Qur’an tidak ada perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari hafalan dan tulisan, tetapi para sahabat melakukannya.



Hampir semua kitab ushul fiqh membahas tentang madzhab shahabi, meskipun mereka berbeda dalam keluasan beritanya, juga berbeda dalam penamaannya. Ada yang menamakannya dengan qaul shahabi, ada juga yang menamakannya dengan fatwa shahabi. Hampir semua literatur yang membahas madzhab shahabi menempatkan pada pembahasan tentang dalil syara’ yang diperselisihkan.

Bahkan ada yang menempatkannya pada pembahasan tentang dalil syara’ yang ditolak seperti yang dilakukan Asnawi dalam kitabnya Syarh Minbaj al-Ushul. Hal ini menunjuukkan bahwa madzhab shahabi itu berbeda dengan ijma’ shahabi yang menempati kedudukan yang tinggi dalam dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua pihak, meskipun di kalangan sebagian kecil ulama ada yang menolak kehujjahan ijma’ secara umum.

Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah.

Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib ahli hadis berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al-Hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Seperti Umar ibn Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah di antara para sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum islam.

Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:

a. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. 

Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.

Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.

b. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.

c. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.

d. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.


Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in  berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam bentuk:
a. Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
b. Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
c. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita.
d. Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
e. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal inilah hujjah yang wajib diikuti
f. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah.


E. ‘URF

1. Pengertian ‘Urf
Dari segi etimologi  al-‘urf  berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’ dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).

Adapun dari segi terminologi. Kata ‘urf  mengandung makna:
“Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dlam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain”.

Dalam istilah fuqaha ‘urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini kita mengetahui bahwa ‘urf dalam sesuatu perkara tidak bisa terwujud kecuali apabila ‘urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya berlaku pada perkara tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai ‘urf tersebut selalu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya.

Jadi unsur pembentukan ‘urf ialah pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya terdapat pada keadaan terus-menerus atau sering-seiringnya dan kalau tidak demikian, maka disebut perbuatan perseoranagan.

Sebagai contoh ialah kebiasaan masyarakat Indonesia pada perkawinan ialah bahwa keluarga dari fihak calon mempelai laki-laki datang ketempat orang tua calon mempelai perempuan untuk meminangnya.

Selain itu, pada adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Dan juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan kata “daging” sebagai “ikan”.


Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada  tiga macam :

a. Dari segi objeknya :

I. Al-‘Urf al-Lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan).
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada.

Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

II. Al-‘urf al-‘amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum-minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.

b. Dari segi cakupannya:

I. Al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum).
Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan  diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.

II. Al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ :

I. Al-‘urf al-Shahih ( kebiasaan yang dianggap sah)
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

II. Al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah membertakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.

Dalam kehidupan sosial dalam masyarakat manusia yang tidak mempunyai undang-undang (hukum-huum), maka ‘urf lah (kebiasaan) yang menjadi Undang-undang yang mengatur mereka. Jadi sejak zaman dahulu ‘urf mempunyai fungsi sebagai hukum dalam kehidupan manusia.

Sampai sekarang, ‘urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana unsur-unsurnya banyak diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan dalam bentuk pasal-pasal dalam undang-undang.

Syari’at Islam datang kemudian banyak mengakui tindakan tindkan dan hak-hak yang sama-sama dikenal oleh Syari’at Islam dan masyarakat Arab sebelumnya, disamping banyak memperbaiki dan menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang lain.

Selain itu, Syari’at Islam juga membawa hukum-hukum baru yang mengatur segala segi hubungan manusia satu sama lain dalam kehidupan sosialnya, atas dasar keperluan dan bimbingan kepada penyelesaian yang sebaik-baiknya, karena Syari’at-syari’at Tuhan dengan aturan-aturan keperdataannya (segi keduniaannya) dimaksudkan untuk mengatur kepentingan dan hak-hak manusia. Oleh karena itu kebiasaan yang telah ada bisa diakui asal dapat mewujudkan tujuan-tujuannya serta sesuai dengan dasar-dasarnya yang umum.

Dalam Syari’at Islam dalil yang dijadikan dasar untuk menganggap ‘urf (kebiasaan) sebagai sumber hukum ialah firman Allah SWT : “dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.

Meskipun kata-kata ‘urf disini sebenarnya diartikan menurut arti bahasa, yaitu perkara yang biasa dikenal dan dianggap baik, namun bisa juga dipakai untuk menguatkan ‘urf menurut arti istilah, karena apa yang biasa dikenal oleh orang banyak dalam perbuatan-perbuatan dan hubungannya satu sama lain termasuk perkara yang dianggap baik oleh mereka dan dikenal oleh pikiran mereka.


Syarat-syarat ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam :

a. ‘Urf harus berlaku terus menerus atau kebanyakannya berlaku

Yang dimaksud dengan terus menerus berlakunya ‘urf ialah bahwa ‘urf tersebut berlaku untuk semua peristiwa tanpa kecualinya, sedan yang dimaksud dengan kebanyakan berlakunya ‘urf ialah bahwa ‘urf tersebut berlaku dalam kebanyakan peristiw. Yang menjadi ukuran kebanyakan berlakunya menurut hitungan–statistik. 

Kalau sesuatu perkara sama kekuatannya antara dibiasakan dengan tidak dibiasakan, maka perkara tersebut dinamai ‘urf-mustarak (‘urf rangkap). ‘Urf semacam ini tidak bisa dijadikan sandaran dan dalil dalam menentukan hak-hak dan kewajiban karena apabila perbuatan orang banyak pada sesuatu waktu bisa dianggap sebagai dalil, maka peninggalannya pada waktu yang lain dianggap sebagai penentang dalil tersebut.

b. ‘Urf yang dijadikan sumber hukum bagi sesuatu tindakan harus terdapat pada waktu diadaknnya tindakan tersebut

Bagi ‘urf yang timbul dari sesuatu perbuatan tidak bisa dipegangi, dan hal ini adalah untuk menjaga kestabilan ketentuan sesuatu hukum. Misalnya, kalau kata-kata “Sabilillah” dalam pembagia harta zakat menurut ‘urf pada suatu  ketika diartikan semua keperluan jihad untuk agama, atau semua jalan kebaikan dengan mutlak, menurut perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini, atau kata-kata “Ibnus-Sabil” diartikan kepada orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan.

Kemudian pengertian yang dibiasakan tersebut berubah, sehingga Sabilillah diartikan anak pungut yang tidak mempunyai keluarga, maka nas-nas hukum tersebut tetap dirtikan kepada pengertian ‘urf pertama, yaitu yang berlaku pada waktu kelurnya nas tersebut, karena pengertian tersebut itulah yang dikehendaki oleh Syara’, sedang pengertian-pengertian yang tibul sesudah keluarnya nas tidak menjadi pertimbangan. Oleh karena itu Ibnu Nujaim berkata sebagai berikut :

اَلْعُرْفُ الَّذِىْ تَحَمَّلَ عَلَيْهِ اْلاَلْفَاظُ اِنَّمَا هُوَ الْمُقَا رِنُ السَّابِقُ دُوْنَ اْلمُتَأَخِرِوَلِذَلِكَ قَالُوْا لاَعِبْرَةَ بِلْعُرفِ الطَّا رِئِ
“’Urf yang menjadi dasar kata-kata ialah ‘urf yang menyertai dan mendahului, bukan ‘urf yang datang kemudian. Oleh karena itu para fuqaha mengatakan: “Tidak ada pertimbangan terhadap ‘urf yang datang kemudian”.

c. Tidak ada penegasan (nas) yang berlawanan dengan ‘urf.

Penetapan hukum berdasarkan ‘urf dalam hal ini termasuk dalam penetapan berdasrkan kesimpulan (menurut yang tersirat). Akan tetapi apabila penetapan tersebut berlawanan dengan penegasan, maka hapuslah penetapan tersebut.

Oleh karena itu sesuatu peminjaman barang dabatasi oleh penegasan orang yang meminjamkan, baik mengenai waktu atau tempat atau besarnya, meskipun penegasan tersebut berlawanan dengan apa yang telah terbiasa.

Jadi kalau sesorang meminjam kendaraan muatan dari orang lain, maka ia dianggap telah diixinkan untuk memberinya muatan menurut ukurannya yang biasa. Akan tetapi kalau pemiliknya dengan tegas-tegas meentukan batas-batasnya sendiri, meskipun berlawanan dengan kebiasaan, maka peminjam tidak boleh melampaui batas-batas yang telah ditentukan itu.

d. Pemakaian ‘urf tidak akan mengakibatkan dikesampingkannya nas yang pasti dari Syari’at, sebab nas-nas Syara’ harus didahulukan atas ‘urf. Apabila nas Syara’ tersebut bisa digabungkan dengan ‘urf, maka ‘urf tersebut tetap bisa dipakai.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Istihsan ialah meninggalkan hukum yang bersifat umum untuk berpegangan dengan hukum pengecualian, karena ada dalil yang memperkuatnya.

Istishhab ialah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan.

Maslahah mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat) dan memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah.

Obyek maslahah mursalah berlanddaskan pada hukum syara’ secara umum juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lain. Secara ringkas maslahah mursalah itu juga difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar.

Mazhab Sahabat yang lazimnya juga disebut qaul al-Shahabi maksudnya adalah pendapat-pendapat sahabat dalam masalah-masalah ijtihad. Dengan kata lain qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits.

Tidak semua qaul al-Shahabi yang diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah di antara para ulama. Tetapi qaul al-Shahabi yang diperselisihkan adalah berupa perkataan sahabat tentang suatu permasalahan ijtihad yang tidak tersebar di kalangan para sahabat yang lainnya dan tidak ada nash sharih yang menjelaskan permasalahan tersebut.

Tidak semua ulama sepakat untuk mengambil dan mengikkuti mazhab sahabat sebagi hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil madzhab Sahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum, terutama Imam mazhab yang empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).

‘Urf bisa dikatakan sebagai suatu perkataan dan perbuatan yang menyangkut kebiasaan yang sering dilakukan. Macam-macam ‘urf yaitu  dari segi objeknya (Al-‘Urf al-Lafzhi  dan Al-‘urf al-‘amali), dari segi cakupannya (Al-‘urf al-‘am dan Al-‘urf al-khash), dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ (Al-‘urf al-Shahih dan Al-‘urf al-fasid).

‘Urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana unsur-unsurnya banyak diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan dalam bentuk pasal-pasal dalam undang-undang. Syarat ‘Urf sebagai sumber hukum islam yaitu, ‘urf harus berlaku terus menerus atau kebanyakannya berlaku, ‘urf yang dijadidkan sumber hukum bagi sesuatu tindakan harus terdapat pada waktu diadaknnya tindakan tersebut, tidak ada penegasan (nas) yang berlawanan dengan ‘urf, pemakaian ‘urf tidak akan mengakibatkan dikesampingkannya nas yang pasti dari Syari’at.

B. Saran
Dasar-dasar fiqih islam sebaiknya diterapkan dalam kehidupan untuk menetapkan hukum setelah sumber- sumber hukum yang lain. Dan diharapkan dasar-dasar fiqih islam bisa diterapkan dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan, agar memperoleh ridho dari Allah SWT.

Dalam penulisan makalah ini  penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca  demi kesempurnaan makalah ini. Diharapkan penulis selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya kedepan untuk memajukan syari’at Islam.





Daftar Pustaka

Effendi satria dkk. ushul fiqih. Kencana: Jakarta, 2005.
Suwarjin .ushul fiqih. Teras: Yogyakarta, 2012,
Syafe’I Rachmat. ilmu ushul fiqih, Pustaka Setia : Bandung,1999.
Umam, Chaerul, Dkk. Ushul Fiqih I, Pustaka Setia, 1998.
Siswanto, Deding, Ushul Fiqih I, Armico, 1990.
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, cet. 12, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Dahlan,  Abd. Rahman, Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Amzah, 2010.
Jazuli, dkk, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Khallaf, Abdul Wahhab,  Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: An-Nasyr Wattawzi’, 1978.
M. Zein,  Satria Effendi, Ushul Fiqh, ed. 1, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh,  jalid 2, cet. 4, Jakarta: Kencana, 2008. 
Umam, Khairul, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Zaedan, Abdul Karim, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996.
Rahmat Illahi Besri, ‘Urf : Pengertian, Dasar Hukum, macam-macam, kedudukan, dan permasalahannya, ibelboyz.wordpress.com, diakses dari https://ibelboyz.wordpress.com/2011/10/13/%E2%80%98urf-pengertian-dasar-hukum-macam-macam-kedudukan-dan-permasalahannya/ , pada tanggal 15 September 2019  pukul 21:30 WIB.
www. alhafidzahsin. kamus fiqih, amzah : Jakarta, 2013.

https://www.sangsantri.com/

Posting Komentar

0 Komentar