Perjalanan kali ini cukup lumayan menguji nyali, Jum’at (07 Oktober 2022). Bagaimana tidak, dengan kondisi cuaca yang kurang bersahabat, karena sudah memasuki musim hujan, saya juga harus membawa ayam seberat 60kg dalam satu karung dengan menggunakan sepeda motor untuk acara maulid di rumah. Selain itu, kondisi jalan juga kurang kondusif, maklum pelosok negeri yang jauh dari jangkauan tangan-tangan dewa.
Kurang lebih menempuh
perjalanan sekitar 3 jam dari Desa Sungai Malaya Kecamatan Sungai Ambawang.
Sayapun sampai di jalan penghubung antara Teluk Simpur dan Jalan Poros Desa Teluk
Bayur yang berstruktur tanah putih bercampur gambut. Kaki saya terpeleset
karena licin, ban terperosok ke lubang dan karung berisikan ayam jatuh, alhasil
saya kotor semua.
Saat itu tiba-tiba dari
arah belakang seekor anjing berlari mendekat dengan sorot mata seolah berkata “ayo saya bantu angkat karungnya”. Sekejap
saya tatap anjing tersebut, ia berhenti sebentar. Lalu saya mendorong motor
mencari tempat yang lebih aman. Si anjing kembali mendekat, saya tatap lagi dan
bilang “kamu di situ saja, jagain karung
saya ya, tapi jangan dijilat”.
Anjing tersebut kemudian duduk
kurang lebih 1 meter dari karung yang sudah penuh dengan lumpur sambil menatap
saya yang kesusahan mendorong motor. Sorot matanya tajam seolah hatinya berkata
"andaikata tuhan menciptakanku
bertangan, niscaya akan kubantu manusia yang sedang membutuhkannya".
Setelah motor aman di tempat
yang tidak becek, saya membersihkan badan yang berlumur lumpur di parit yang
airnya lumayan dalam, karena air sedang tidak pasang.
Pasca membersihkan badan,
ternyata anjing itu masih setia menunggui karung saya dengan posisi yang sama
sekali tidak berubah. Sayapun berjalan untuk mengambil karung tersebut yang
berada kisaran 30 meter di tengah jalan berlumpur.
Setelah agak dekat, saya
bilang "makasih ya sudah nunggui
barang saya", anjing itu menatap saya sebentar, mungkin berkata "sama-sama" lalu berdiri dan
pergi. Setelah agak jauh berlari ternyata dia masih menoleh, mungkin memastikan
saya yang sedang kesusahan mengangkat karung berisikan ayam yang sudah tak bisa
berkokok lagi itu. Saya anggukan kepala dan bilang "gak papa, saya bisa kok, makasih ya", diapun berlari dan
menghilang di pertigaan jalan.
Tidak jauh dari lokasi saya
jatuh tersebut sebenarnya ada beberapa orang yang melihat saya, tapi hanya
sekedar melihat tanpa sedikitpun bergerak untuk membantu. Setelah karung siap
dinaikkan ke motor (tentu dengan sangat
susah payah saya memindahkan karung itu, bahkan hanya bisa menyeret tak mampu
mengangkat, karena licin juga) seorang bapak separuh baya tiba-tiba mendekat
sambil bilang "kamu itu salah jalan,
harusnya lewat sana, bukan sini, lain kali lewat sana, jangan sini"
dan beberapa ocehan lagi. Sayapun jawab "tau
saya pak, cuma saya lupa, karena jalan di sana beberapa waktu lalu nggak
dilewati sebab tertutup semak-semak" diapun berlalu sambil terus
mengoceh yang sayapun nggak ngerti.
Sementara saya masih harus
berjuang untuk mengangkat karung tersebut ke motor. beruntung saya membawa
plastik besar, sebagian ayamnya saya pindahkan sehingga lebih ringan untuk
mengangkatnya.
Terima kasih Anjing, saat konsep perikemanusiaan sudah terkikis dan mati, engkau datang membawa prinsip kemanusiaan yang
sebenarnya. Engkau najis karena Tuhan memang menciptakanmu najis. Berbeda
dengan manusia, Tuhan ciptakan ia dari setetes air yang suci, tapi manusia
terkadang menajiskan dirinya sendiri.
Saya jadi teringat kisahnya
Abu Yazid Al Busthomi, seorang sufi abad ketiga Hijriyah yang berkebangsaan
Persia. Beliau lahir pada 188 H / 804 M dengan nama kecil Tayfur dan wafat
tahun 261 H / 875 M (ada juga yang
menyebutkan tahun 264 H / 878 M) di Kota Basthom.
Pada suatu malam, Abu Yazid
sedang berjalan sendirian. Beliau melihat seekor anjing berjalan ke arahnya.
Ketika jarak anjing tersebut semakin dekat dan nyaris berpapasan, beliau lantas
mengangkat gamisnya karana khawatir tersentuh sama anjing tersebut.
Melihat
hal tersebut, spontan si anjing berhenti dan memandang Abu Yazid. Entah
bagaimana beliau bisa mendengar anjing tersebut berucap pelan kepada beliau, “Tubuhku kering dan tidak akan menyebabkan
najis padamu. Kalaupun engkau merasa terkena najis, engkau hanya butuh
membasuhnya tujuh kali dengan air dan tanah, maka najis tersebut akan
hilang. Namun jika engkau mengangkat
gamismu hanya karena menganggap dirimu yang berbaju dan berbadan manusia lebih
mulia, dan menganggap diriku yang berbadan anjing ini najis dan hina, maka
najis yang menempel dihatimu itu tidak akan pernah bersih walau kau basuh
dengan tujuh samudra”. (Kisah
selengkapnya dengan beberapa kisah lainnya akan saya muat dalam tulisan
berikutnya tentang ANJING: Si Najis Penuh Pelajaran)
Semoga
kita bisa mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Hidup bersosial tidak mesti
memandang status sosial. Untuk membantu orang tidak mesti dicari bibit bobotnya.
Selama kita mampu, mari ringankan beban saudara kita. Jangan sampai kita
tertawa di atas tangisan orang lain.
Wallahu
A’lam Bis Shawwab
----------------
Yusuf An-nasir, 20 Oktober 2022
https://www.sangsantri.com/
0 Komentar