Advertisements

Header Ads

BALADA PAHLAWAN PENGISI KERTAS KOSONG

Pahlawan. Sebuah kata yang di gendang telinga kita tidaklah asing. Pahlawan merupakan pelopor yang menjadi inspirator zaman karena inovasi gagasan dan tindakannya. Seorang yang selalu berjuang demi masyarakat sejahtera dan beradab.

Maka, dalam konteks ini seorang guru sangatlah layak disebut sebagai pahlawan, lebih tepatnya pahlawan pendidikan yang mengemban misi besar dalam memerdekakan generasi bangsa dari borgol kebodohan dan ketertinggalan.

Sementara kita adalah lembaran-lembaran usang tak bermakna dalam pencaturan pion-pion keringat orang tua. Di kala lembaran usang itu terlempar ke tempat dimana segala jenis lalat mengerubuni, maka guru hadir sebagai pahlawan pembawa pena dan mengisi hari-hari kertas kosong.

Jelas ini bukanlah suatu misi yang mudah, tidak semudah membalikan telapak kaki, butuh tenaga dan kefokusan yang ekstra, butuh pengorbanan bahkan derai air mata. Karena guru harus selalu berada di garda terdepan dalam membentuk garuda muda yang cerdas, kreatif, inovatif, berakhlak mulia, berwawasan luas, berintelektual handal, sehingga mampu menjadi generasi yang memiliki etis dan etos serta mampu menghadapi tantangan revolusi peradaban.

Ilustrasi/Net

Predikat pahlawan yang tersemat dalam diri seorang guru tentunya tidak boleh dibiarkan sekedar menjadi simbol yang terdengar mulia namun kososng tanpa makna. Misi memerdekakan generasi bangsa dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan harus benar-benar bisa diaktualisasikan dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah.

Seorang guru, selain harus berbekal pengetahuan yang cukup dan luas, juga dituntut memiliki integritas dan kepribadian yang tinggi serta keterampilan mengajar yang dapat diandalkan, sehingga mampu menciptakan iklim belajar mengajar yang kondusif dan menyenangkan.

Dengan bekal ideal tersebut, maka guru akan tampil sebagai figur yang benar-benar mumpuni, disegani dan digugu lan ditiru (dipercaya dan diteladani). Kalau hanya mengajarkan suatu mata pelajaran tanpa proses pendidikan lebih lanjut, maka sembarangan orang juga bisa asalkan ada literaturnya. Oleh karena itu guru dituntut memiliki nilai lebih dalam melaksanakan pembelajaran.

Jika mengambil bahasa santri, seorang guru tidaklah cukup sekedar menjadi guru yang mempoles otak dengan pengetahuan, namun juga harus mampu menjadi seorang Murabbi yang tidak hanya mempoles bagian luar, tapi juga masuk ke dalam ranah hati, rohani dan keperibadian dengan pengamalan uswatun hasanah. Sehingga guru tidak hanya mencetak kader yang pintar beretorika namun juga pandai beretika.

Di Indonesia, profesi guru masih belum memperoleh apresiasi yang sewajar dan sepantasnya. Ketidakberuntungan hampir selalu jadi teman setia yang menyertai para guru dalam mengemban tugas mulianya, terlebih mereka yang berada dan mengabdi di daerah-daerah pedalaman yang terpencil. Bukan saja harus pontang-panting setiap harinya mengajar rangkap di beberapa kelas sekaligus, karena keterbatasan tenaga guru.

Bukan saja harus memutar otak untuk menyiasati ketiadaan sarana penunjang proses belajar mengajar, seperti buku mapel, alat peraga dan sebagainya. Para guru masih harus memutar otak demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Setelah era pemerintahan Gus Dur yang begitu perhatian dengan nasib guru, beberapa pemerintah daerah telah mulai menyalurkan dana insentif atau tunjangan untuk guru, terutama diprioritaskan bagi mereka yang mengajar di kawasan terpencil. Pemerintah pusat pun telah mempersiapkan tunjangan profesi untuk guru yang lolos uji sertifikasi, walaupun hingga kini masih banyak kesimpangsiuran yang melingkupinya. Setidaknya ada secercah harapan bagi peningkatan kesejahteraan guru untuk ke depannya.

SALAM TA’DZIM UNTUK SELURUH PAHLAWAN PENGISI KERTAS KOSONG

-------------------

Yusuf An-nasir, 05 Februari 2021

 

 

https://www.sangsantri.com/

Posting Komentar

1 Komentar